Monday, April 10, 2006

Kelas Antibiotik

Beberapa hari terakhir ini, saya harus berkompromi dengan kesehatanku. Kedua mata bengkak, merah, rasanya sejuta pasir di setiap kedipan mata. Belum lagi belek yg tiada hentinya datang, menghalangi pandangan. Ah... dan aku pun mengikuti irama alam, memberi kesempatan untuk tubuh take a rest.

Kunjungan pertama ku ke dokter umum dilakukan langsung pada hari pertama sakit mata. Dokter Erni yg enerjik itu segera memberikan dua macam obat kapsul dan satu buah tetes mata. Itu adalah hari Senin. Selama tiga hari berikutnya, praktis tidak ada yg bisa kulakukan selain berbaring seharian. Aku tidak keluar kamar saat mereka ada di rumah. Saat mereka bermain keluar, barulah aku berani ke luar kamar, itupun untuk kepentingan dasar saja. Selain takut menulari, juga memang kondisi badan yg meriang sama sekali tidak menyenangkan untuk beraktivitas.

Isolasi diri terus berlanjut. Hari Kamis obat dari dokter sudah habis. Mata belum kunjung sembuh. Aku tergoda untuk membeli obat langsung dari apotik seperti saran teman-teman yg suami atau kerabatnya terkena juga sakit mata. Kehadiran obat tetes baru tidak punya dampak signifikan. Hari Jumat tidak tahan, kembali ke dokter yg memang terletak di dalam kompleks. Kuyakinkan bisa mengendarai mobil yg pemandangan dari kaca depan terlihat blur itu. Apalagi kalau harus ke dokter mata, jelas aku perlu ditemani orang lain. Kebetulan suami sedang tugas di luar kota.

‘Waduh Ibu harus pake obat antibiotik mahal yah’. Dan aku pun tersenyum kecut menerima kenyataan bahwa dengan tiga kali operasi besar yg sudah pernah saya lalui, dan pengobatan2 sebelumnya yg biasa saya lakukan di sebuah rumah sakit internasional itu, berhasil mengantar ku ke tingkat kelas antibiotik mahal. Diakui memang, bahwa lama perawatan menjadi lebih singkat. Soal biaya tidak menjadi masalah, karena tempat kerjaku yg dulu memang mencover segala pengobatan itu.

Ini lah contoh nyata kehidupan kita saat ini. Satu sisi kita selalu menuntut untuk hidup serba cepat, praktis, produktivitas tinggi, sakit jangan lama-lama. Tapi kita juga harus membayar mahal, dimana tubuh kita sendiri menjadi rentan, kehilangan kesempatan tubuh untuk menghidupkan sendiri sistem imunisasinya. Kalau mau melihat lebih jauh, perhatikan siapa yg diuntungkan dari penjualan aset rumah sakit di kota-kota besar ke tangan TNCs (Trans Nasional Corporation), kelas dunia itu. Ironis memang.

Ah ternyata kapitalisasi itu ternyata tidak semata melibas habis hutan, laut, tanah dan segala isinya itu, tapi juga tubuhku ...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home