Saturday, April 28, 2012

seberapa fleksibel kah kita

 perubahan pasti terjadi. perubahan itulah yg satu-satunya niscaya terjadi. makanya ada himbauan agar kita fleksibel mengikuti dinamika alam dan kehidupan ini.

kondisi internal dan eksternal kita terus-menerus berubah. ini menantang  kekuatan adaptasi masing-masing kita. perubahan dalam strategi dan intervensi terjadi setelah kita menerima feedback saat monitoring dan evaluasi dilakukan. prosedur perubahan menjadi simultan dan iterative (berulang mengikuti setiap step) di berbagai level yg ada. perlu ditambahkan, perubahan eksternal di suatu level bisa menjadi perubahan internal untuk level yg lain. ah bahasa susah, tapi sepertinya benar adanya.

pada awal perubahan manajemen 4 tahun lalu, rame juga orang berkomentar. termasuk saya dengan menuliskan komentar kawan atas pisang taman tanpa buah seharga 15 juta. setelah 4 tahun berjalan ternyata tuh taman enak juga dilihat. dan banyak fungsinya.

mungkinkah ide pertambangan masyarakat ini juga akan menjadi suatu hal yg berbeda dalam pandangan anggota setidaknya dalam 4 tahun ke depan?

people change. seberapa fleksibel kah kita beradaptasi terhadap suatu perubahan?
Posted by Picasa

Monday, July 17, 2006

Pisang 15 juta

Seorang teman meng-hire arsitektur lansekap untuk mewujudkan keinginannya memiliki sebuah taman yg indah. Ketika pembuatan taman dimulai dan satu-satu truk penuh muatan tanaman datang, seorang teman lainnya berkomentar miring setengah lucu. ‘Wah masak pohon pisang tidak berbuah harganya 15 juta, wong Pak Yogi si penjual pisang yg kemaren rugi karena pisangnya banyak yg busuk, hanya membayar 5 juta untuk satu truk buah pisang’.

Ada banyak hal yg tidak kita mengerti dalam kehidupan ini. Dan itu menyesakkan dada jika kita tidak bisa terlibat dalam proses yg ‘megah’ itu, padahal kita merasa punya hak untuk dilibatkan. Atau karena kita tidak mampu mengatakan apa yg menjadi pendapat kita, atau memang salurannya yg tidak ada.

begitulah jika cara berpikir petani dan cara berpikir pengusaha F&B dalam melihat pohon pisang.

Berubah menjadi tidak serius

Seorang teman mempromosikan blog yg baru kelar dibuatnya, dan mengundang untuk masuk dan memberi komentar. Aku tanya balik apakah dia pernah masuk dan membaca blog ku? Ya, jawabnya. Blog mu serius sih, jadi orang malas baca.

Kekuatan dia ngebrowse dan me-link dengan blog lain menjadi kelebihan agar blog bisa dibaca orang. Promosi diri memang ada banyak ragamnya. Tapi merubah karakter diri menjadi tidak serius, apakah itu salah satunya.

Memang betul orang sudah muak dengan sesuatu yg ‘serius’, setelah seharian bergulat dengan keseriusan. Dan sedikit joke dirasa akan menyegarkan.

Yah sudah waktunya memang berubah. Layaknya power rangers, ... berubah ...
Andai bisa semudah itu.

Sunday, July 02, 2006

Biarkan kafilah berlalu

Semenjak masa pencerahan itu tiba, maka aku bertekad untuk melakukan apa saja yg menurut ku aku suka, kerjakan dengan optimal, dan membiarkan orang memberi penilaian kemudian. Dan hari ini, pemahaman itu diuji, saat seseorang mempertanyakan pekerjaanku selama ini. Ada juga rasa sedih di sana, ketika kerja yg sudah kulakukan, di luar itu benar atau salah, optimal atau tidak, dipertanyakan orang. Untunglah si penanya bisa memastikan apa persisnya pertanyaannya. Dan aku mengerti, ah jangan-jangan ini memang benar buang-buang umur. Yg kurasa nyaman adalah karena aku yakin bahwa kafilah harus berlalu, maka segala pertanyaan tajam itu bisa kumengerti dan kucerna dengan baik. Cool adalah kata yg tepat. Hebatnya beberapa orang baik secara langsung atau diam-diam kemudian di belakang mengekspresikan dukungannya.

Apapun itu, tapi kupikir inilah waktunya aku untuk bertindak. Mau kemana kamu setelah ini. Apakah menulis dan melakukan riset seprti yg kamu gembor-gemborkan selama ini bisa terwujud. Atau kesibukannmu hunting dolar telah menyita waktu mu. Walau nggak apa-apa juga, toh dampak positifnya bisa kurasakan. Tapi apakah orang akan tergantung dengan ‘kecelakaan’ semata. Kapan kita bisa belajar bahwa segalanya bisa diatur, direncanakan (by design). Dan disitulah riset itu bisa bicara.
Ah aku lega hari ini telah berlalu ...
Aku lega karena kafilah bisa berlalu ...

Monday, April 10, 2006

Kelas Antibiotik

Beberapa hari terakhir ini, saya harus berkompromi dengan kesehatanku. Kedua mata bengkak, merah, rasanya sejuta pasir di setiap kedipan mata. Belum lagi belek yg tiada hentinya datang, menghalangi pandangan. Ah... dan aku pun mengikuti irama alam, memberi kesempatan untuk tubuh take a rest.

Kunjungan pertama ku ke dokter umum dilakukan langsung pada hari pertama sakit mata. Dokter Erni yg enerjik itu segera memberikan dua macam obat kapsul dan satu buah tetes mata. Itu adalah hari Senin. Selama tiga hari berikutnya, praktis tidak ada yg bisa kulakukan selain berbaring seharian. Aku tidak keluar kamar saat mereka ada di rumah. Saat mereka bermain keluar, barulah aku berani ke luar kamar, itupun untuk kepentingan dasar saja. Selain takut menulari, juga memang kondisi badan yg meriang sama sekali tidak menyenangkan untuk beraktivitas.

Isolasi diri terus berlanjut. Hari Kamis obat dari dokter sudah habis. Mata belum kunjung sembuh. Aku tergoda untuk membeli obat langsung dari apotik seperti saran teman-teman yg suami atau kerabatnya terkena juga sakit mata. Kehadiran obat tetes baru tidak punya dampak signifikan. Hari Jumat tidak tahan, kembali ke dokter yg memang terletak di dalam kompleks. Kuyakinkan bisa mengendarai mobil yg pemandangan dari kaca depan terlihat blur itu. Apalagi kalau harus ke dokter mata, jelas aku perlu ditemani orang lain. Kebetulan suami sedang tugas di luar kota.

‘Waduh Ibu harus pake obat antibiotik mahal yah’. Dan aku pun tersenyum kecut menerima kenyataan bahwa dengan tiga kali operasi besar yg sudah pernah saya lalui, dan pengobatan2 sebelumnya yg biasa saya lakukan di sebuah rumah sakit internasional itu, berhasil mengantar ku ke tingkat kelas antibiotik mahal. Diakui memang, bahwa lama perawatan menjadi lebih singkat. Soal biaya tidak menjadi masalah, karena tempat kerjaku yg dulu memang mencover segala pengobatan itu.

Ini lah contoh nyata kehidupan kita saat ini. Satu sisi kita selalu menuntut untuk hidup serba cepat, praktis, produktivitas tinggi, sakit jangan lama-lama. Tapi kita juga harus membayar mahal, dimana tubuh kita sendiri menjadi rentan, kehilangan kesempatan tubuh untuk menghidupkan sendiri sistem imunisasinya. Kalau mau melihat lebih jauh, perhatikan siapa yg diuntungkan dari penjualan aset rumah sakit di kota-kota besar ke tangan TNCs (Trans Nasional Corporation), kelas dunia itu. Ironis memang.

Ah ternyata kapitalisasi itu ternyata tidak semata melibas habis hutan, laut, tanah dan segala isinya itu, tapi juga tubuhku ...

Saturday, March 25, 2006

Nengokin 2 bayi di Hermina

Kita berhasil nengokin dua bayi anak dari anggota organisasi kami, bersamaan siang ini. BPP diwakili Onte dan dua mobil dari Yasmin langsung menyerbu RSIA Hermina, yg jaraknya tidak lebih dari setengah kilometer saja dari Sanggar. Rombongan pertama pergi dengan mobil HK, terdiri dari HK, DD, NN, DK, RM, HG. Rombongan kedua memakai mobil MM, terdiri dari PD, OSU, DL, AZ, BS.

Desi Ghonjess terlihat ceria ketika kita tiba di Ruang VIP 205. usaha dan segala kelelahannya untuk melahirkan bayi sama sekali tidak terlihat, tertutup oleh kebahagian memiliki momongan. Proses kelahiran dirasa lancar. Setelah mulai mules dari magrib Kamis, dan menghitung mules 3x dalam 10 menit, pergi ke Hermina pukul 1 malam saat bukaan masih satu. Untuk menjadi bukaan empat, perlu waktu sampai 3 jam, dan segera melahirkan pukul 526. cerita seputar dijahit sesudah melahirkan menjadi perbincangan seru. Sayang sang ayah tidak bisa kita temui karena sedang menanam ari2 anaknya.

Kami juga sempat bertemu teman2 kerja dessy di CI. Bu yani, yg pernah menjadi dosen ku saat di Biologi Konservasi UI dulu, masih terasa ramah menyapa. Tampilannya menjadi tambah mapan, udah jarang ngajar, ujarnya. Tapi susah untuk berhenti. Jadi pertahankan ajah PNS nya, lumayan untuk tabungan kelak. Maksudnya kalo ngajarnya bener, khan jadi banyak amal. Kemudian dia menambahkan sendiri, jangan2 gue malah tekor karena sering marah2 ajah.
Kami berpindah ke ruang 213, kelas III, tempatnya YT. Ternyata mereka bersiap hendak pulang. Tak lama kami bicara di ruangan itu, terdengar suara dari zuzter jaga melalui speaker di langit2. Bu Retno, bill rumah sakitnya ... akan siap dalam 10 menit.

Istri YT seorang dokter. Berbeda dengan Dessy yg memang dasarnya ceria dan punya speed tinggi untuk bicara, dia cenderung pendiam. Butir keringat terlihat di wajahnya yg terbalut kerudung panjang. Mbak Aska, anak pertamanya yg kata HG mirip sekali dengan ayahnya, terlihat senyam-senyum malu2 mendapat tamu tante dan om teman ayahnya.

Dan dua lagi keluarga besar kami bertambah. Selamat datang ...

Friday, March 10, 2006

Hari Perempuan 2006

Laksmi mengirim sms sesaat sebelum aku pulang dari Yasmin. ‘Pernah bersyukur dilahirkan sebagai perempuan? Hari ini hari yg tepat untuk melakukannya (lagi). Selamat Hari Perempuan’.

Reaksi pertamaku membaca pesan itu adalah suatu penolakan besar. Pernah memang sesekali terlintas enak juga yah jadi cowok, bisa pulang malam tanpa rasa riskan takut ada apa-apa, bisa pergi mengambil kesempatan ke mana saja dan kapan saja dengan cepat dan bebas, ah apa yg mereka tidak bisa. Tetapi untuk tidak bersyukur karena dilahirkan menjadi perempuan, wah tidak tuh.

Saya adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya laki-laki. Ayah dan ibu saya adalah orang yg berhasil menanamkan bahwa tidak ada yg tidak bisa dilakukan oleh perempuan, seperti juga apa yg bisa dilakukan oleh laki-laki. Walau pernah Mama khawatir dan sempat melarangku untuk tidak aktif dalam kegiatan Palasi (Pencinta Alam Anak SMA I) Jakarta, tapi diralat oleh Bapak. ‘Silakan saja kalau kamu mau ikut naik gunung atau kegiatan outdoor lainnya. Kami akan memberimu kepercayaan yg harus kamu jaga. Kalau kamu merusak kepercayaan yg kami berikan, maka kami tidak akan mengijinkanmu pergi kemana-kama’.

Amazing, kata sakti itu membuatku terpacu, dan malah berhati-hati dengan sendirinya. aku akan selektif dalam memilih teman, agar terhindar dari hal-hal yg sangat ditakutkan perempuan umumnya. Tapi entah keberanian dari mana, kalau sejak SMA memang sudah biasa pulang malam bahkan dini hari setelah kegiatan-kegiatan itu. Dan itu terus berlanjut sampai kuliah di IPB, Fahutan lagi. Hehehe setelah married, yah berubah lah sdikit, khan udah ada yg mengkhawatirkan sekarang ...

Terkadang ada rasa takut itu, tapi kemudian diam sambil pasang wajah ‘penolakan’ yg berisi pesan, dilarang godain, yg ternyata kesan wajah itu terus kebawa sampe sekarang, hehehe. Aku akan memilih tempat duduk di bis yg strategi, misalnya dekat supir atau ngobrol sama kondekturnya. Jika agak penuh, maka akan m ilih duduk dekat bapak-bapak yg sepertinya baik hati. Mungkin karena ini pulalah, insting ku menjadi semakin terasah tentang ‘membaca orang’.
Bu Meilani, seorang guru favorit suamiku yg sekarang menjadi guruku juga, adalah seorang aktivist perempuan, pernah bertanya di dalam kelas, ceritakan tentang persoalan gender yg kamu pernah alami. Dengan lantang kukatakan padanya bahwa saya merasa isu gender terlalu dibesar-besarkan. Dari seluruh kehidupan saya sampai saat ini, saya merasa tidak bermasalah dengan persoalan jenis kelamin dan segala atribut menempel dengannya. Mungkin memang benar bahwa saya dibekali dari rumah suatau keyakinan agar tidak usah terhambat dengan adanya isu gender ini. Tetapi terkadang saya sendiri lupa, atau meng-ignore bahwa permasalahan gender juga terjadi menimpaku, atau menimpa kaum perempuan. mungkin aku saja belum bisa melihat dan oleh karenanya tidak bisa memahami apa itu gender.

Seorang teman hendak membeli mobil tetapi agak tersendat karena dia tidak memiliki KTP Bogor. Sang salesman, yg juga teman lama berusaha mati-matian mencari pinjaman nama, KTP dan Kartu Keluarga untuk kepentingan ini. Di suatu sore Bogor yg panas karena sudah empat hari ini tidak turun hujan, datanglah dia memohon-mohon ke Iwak (yg memang orang Bogor) yg sedang sibuk mempersiapkan trip besok. ‘sudahlah Wa, ayo kita pulang ke rumahmu sekarang, biar cepat beres nih’. Iya elo yg beres, gmana dengan kerjaan gue, ujarnya mengajukan keberatannya. Kenapa nggak pinjam KTP nya Dion, dia khan orang Bogor juga dan rumahnya deket tuh di Cimanggu, lanjut Iwa. Iya, dia tuh orang Bogor, timpalku menyemangati. ‘Ah susah, ntar kudu nanya dulu suaminya, ribet lah’.

Aku terdiam mendengar drama satu babak itu. Itu semua menjawab keherananku, kenapa tuh anak tidak datang ke padaku dan bertanya hal yg sama. Kenapa dia hanya datang dan mencari teman laki-lakinya saja. padahal diam2 aku gerendeng, aku juga punya KTP, KK, dan dua rumah yg semuanya atas namaku. Aku jadi ingat Bu Melanie guru genderku dalam mata kuliah Perubahan Sosial.

Betul, bahwa society punya pandangan tertentu tentang perempuan, yg itu seringkali menghalangi hak dan kebebasannya berekspresi, mungkin tidak secara langsung tapi tetep saja terhalangi khan. Atau dalam kasusku mungkin malah kebeneran nggak ditanyain jadi ‘aman’ lah dari tanggung jawab menanggung beban tagihan orang lain.

Ini mungkin bukan contoh yg spektakuler yg bisa menunjukkan bagaimana hak perempuan terbelenggu. Tapi buatku jadi ganjalan, kenapa gue nggak ditanyain?????. Kenapa hanya Iwak dan teman laki-laki ku saja yg mendapat pertanyaan itu. Elo pikir kalau perempuan tidak bisa ngeluarin KTP, KK, dan surat tanahnya untuk menolong seorang teman. Elo pikir kalau elo nanya ke Iwak maka dia tidak perlu nanya istrinya terlebih dahulu. Apakah sudah jadi asumsi yg 100% benar, kalau suami yg nanya maka si istri akan ikut saja. ah kasihan sekali perempuan.
Aku bersukur menjadi perempuan, bukan hanya karena 8 Maret ditetapkan menjadi Hari Perempuan, di setiap nafasku aku adalah perempuan. Seorang istri dari suamiku, dan ibu dari anak-anakku, teman perempuan dari banyak kawan laki-lakiku dan menjadi teman perempuan yg bisa memberi pengertian bagaimana cara laki-laki berpikir bagi sedikit teman perempuanku.
Selamat Hari Perempuan Mbak Laksmi ...

Wednesday, March 08, 2006

why Blog?

Ini kali kedua mengisi jajaran kotak-kotak untuk create sebuah Blog. Tapi kayaknya ini yg benar2 kelar dikerjakan sampai setidaknya bisa ditampilkan. Sudah menjadi kebiasaan buruk memang, untuk menunda dan tidak menyelesaikan pekerjaan. Nggantung.

Saya suka menulis, dan saya mau berbagi. Banyak kawan sudah mengingatkan tentang keindahan suatu Blog. Tapi ada satu kawan yg benar2 mendorongku untuk membuat Blog. Terimakasih Mas Djuni.

cukup untuk perkenalan, dan beberapa tulisan segera mengudara di dunia maya.
itok